Cerpen: Kucing di Atas Loteng

Dali Daulay
14 min readAug 28, 2023

--

Sebuah shot dari film House/ハウス (1977), sutradara Nobuhiko Obayashi

Cahaya bulan mengintip dari sela-sela atap kamar Nisrina, membasuh wajahnya yang lembut dengan sinar biru keperakan. Hari yang melelahkan menyisakan keinginan mendalam dalam dirinya untuk larut dalam cahaya rembulan yang tak pernah membiarkannya terbenam dalam kegelapan. Setelah hari yang panjang, penuh kata-kata yang tak seharusnya terlontar kepada gadis belia, Nisrina hanya ingin terbenam dalam selimut salurnya. Tidur lelap di kamar yang lebih kecil dari kamar mandi di ruang publik. Namun, malam ini, seperti malam-malam lainnya, tidur tak kunjung menyapa.

Kamar kecil itu terletak di lantai paling atas, di bawah loteng yang menjadi sarang makhluk-makhluk tidak diundang: musang, tikus, dan kucing-kucing liar. Malam ini, ruang peristirahatan Nisrina dikelilingi oleh suara-suara menggaruk dan decitan yang menyusup dari balik atap. Terkadang, terdengar geraman kucing yang menggelegar dan menggema. Nisrina membayangkan suara itu berasal dari seekor induk kucing yang melindungi anak-anaknya dari musang atau predator lainnya. Suara geraman yang jelas dan menggema mengingatkannya pada betapa seorang ibu rela bertarung tanpa henti demi melindungi anak-anaknya.

Seketika, wajah ibunya muncul dalam kedipan pikiran yang acak dan ajaib. Nisrina merenungkan pertanyaan itu dengan tanda tanya yang penuh ironi. Ia menutup mata, berharap bisa melarikan diri dari realitas dan terbang ke dunia mimpi, ke tempat di mana segala keinginannya bisa menjadi kenyataan.

Suara grasah-grusuh dari balik loteng membangunkan Nisrina dari tidur. Dari jendela kecil yang lebih mirip jendela penjara, ia menengadah. Menatap bulan yang bersinar di angkasa tak berujung, tidak seperti langit kamarnya. Langit memang luas, bintang-bintang tampak begitu berkilap dengan pesona perak mereka, namun di balik tatapan matanya yang bening, Nisrina tahu bahwa ia tidak akan bisa menemui mereka selama masih terkurung di kamar kecil itu.

Nisrina melantunkan sebuah lagu dengan irama syahdu dan sendu. Alunan tembangnya bagaikan angin yang membawa angan-angannya menjelajah ke angkasa yang jauh di sana. Irama itu meluncur melewati atap-atap bangunan, yang setiap malam berlapis perak, merefleksikan cahaya tipis rembulan. Rembulan yang bulat itu tampak seperti lubang menuju jalan keluar dari dunia gelap yang membelenggunya.

Rembulan yang syahdu

Sejagat aku menggigil di sudut biru malam — sekarat tubuhku kini

Tapi aku tahu cinta ini tiada tanding beradu

Terngiang rindu yang terlena dalam sunyi pada malam legam yang cemani

Rembulan, hangatku enggan padam ketika terbayang dingin bibirmu yang beku sendu

Induk kucing masih menggeram dengan kejam, menghantui kesadaran Nisrina. Tiba-tiba, terdengar derap langkah kaki yang menghantam lantai kayu loteng yang rapuh. Lantai tipis itu membuat debu menyapu wajah Nisrina. Lalu, suara percikan api dari korek menyertai asap rokok yang mengepul dari loteng, aromanya menembus ke bawah. Suara geraman induk kucing kini berganti dengan tawa anak lelaki yang riang.

Barulah Nisrina sadar bahwa ketiga saudara laki-lakinya sedang berkumpul merokok di loteng tengah malam. Jika ayah dan ibu mereka tahu, ayah mereka tanpa ragu akan memotong jari-jari mereka dengan golok.

“Hei, apakah kau yakin, di sini aman?”

“Tenanglah, adikku, tidak ada seorang pun manusia di rumah ini yang mau masuk ke loteng sumpek ini.”

“Hahaha. Pintar juga, kak. Ini lebih asyik dibanding harus mengumpat di hutan belakang rumah.”

“Betul, betapa seram di sana. Tak pernah kita sadari bisa saja ada kuntilanak yang ikut. Belum mengingat resiko macan atau monyet gila yang tidak akan pikir dua kali bila ingin menerkam.”

“Ibu kita lebih mengerikan daripada kuntilanak, tahu. Dan ayah kita lebih ganas daripada macan. Lebih gila daripada seekor monyet siluman.”

Induk kucing mulai menggeram dengan kencang, menantang nasib.

“Hei lihat, ada keluarga kucing-kucing lucu di pinggir sana. Haruskah kita bunuh mereka, siapa tahu mereka akan membocorkan rahasia kita.”

Saudara yang paling tua merangkak mendekati induk kucing dan langsung dibalas oleh cakaran kuku tajam seperti silet. Darah merah menetes dari tangannya. Tanpa ragu, saudara tertua itu meraih leher induk kucing dan mencekiknya. “Kau pikir dirimu macan, hah? Tidak, kau tidak bisa menerkamku, dan percayalah, aku bisa menyantapmu hidup-hidup, kucing biadab,” katanya sambil membuat induk kucing menari-nari dan sujud kepadanya, seperti dalang yang memainkan wayang. Saudara tertua tertawa, membuang rokok dengan bangga. “Hei, kalian, ambil dua anaknya. Kita akan membuat pertunjukan,” perintahnya. Dua saudara lainnya lalu menangkap dua anak kucing, menyisakan satu yang paling muda dengan mata masih tertutup.

Mereka memperlakukan induk dan anak-anak kucing dengan kasar. Induk kucing menggeram dengan suara tajam dan pedih. Nisrina, dari bawah, hanya bisa menatap loteng dengan wajah ngeri. Anak kucing yang tertinggal memanggil induknya dengan mengeong lembut, saat tanpa sengaja saudara tertua mematahkan leher induk kucing.

“Aku membunuhnya, hahaha. Tapi kucing itu memang pantas mendapatkannya. Tidak ada yang boleh main-main denganku.”

Dari bawah, suara menggema, merambat di dinding.

“Hei, tinggalkan kucing itu sendiri!” Sahut pecah tangis Nisrina.

“Diam, Nisrina! Mengapa kau masih bangun, sial! Bukankah pekerjaanmu untuk bersih-bersih besok masih banyak, hah?!”

“Aku tidak peduli. Kubur kucing itu atau akan kuberi tahu ibu!”

“Sial. Sial. Sial. Sebaiknya kau tutup mulutmu itu.”

“Ya! Perempuan sialan.” Tambah kedua saudara yang lain.

“Baiklah, akan kukubur, tapi jangan beritahu ibu,” kata saudara tertua, lalu mengambil tubuh induk kucing. Dengan iseng, ia melompat di atas lantai kayu sebelum pergi, menjatuhkan hujan debu ke dalam kamar Nisrina. Dua saudara lainnya membawa dua anak kucing yang berusaha merangkak menuju induk mereka. Tanpa sadar, mereka meninggalkan satu anak kucing di loteng yang temaram. Nisrina menutup wajahnya dengan bantal yang perlahan basah oleh air mata. Dari atas loteng, hanya terdengar suara anak kucing yang memanggil induknya, mengeong dengan penuh kepedihan.

*

Matahari perlahan merambat ke langit, menghapus sisa-sisa kehitaman malam. Nisrina sudah bangun, siap membantu ibunya membersihkan rumah. Ia memulai hari dengan menyiram tanaman di kebun mereka, yang tak jauh dari sungai berkelok yang melewati rumah-rumah penduduk, setiap rumah di kompleks itu memiliki kebun luas. Nisrina membuka keranjang penuh baju kotor, satu per satu ia basuh dan gantung di jemuran. Membasuh. Menanggalkan. Membasuh. Menanggalkan. Rutinitas itu berlanjut hingga membuatnya muak. Terkadang, ia menjatuhkan satu atau dua celana ayahnya, sementara ibunya yang sedang mencuci gelas di dapur, mengawasi dari balik jendela seperti burung pemakan bangkai, berteriak dengan suara padat dan sesak, “Nisrina, setelah ini buat sarapan untuk ketiga saudara laki-lakimu. Cepat, sebelum mereka berangkat sekolah.”

Ibu kemudian menutup jendela dapur dengan hati-hati, karena kacanya sudah retak. Nisrina menoleh dan melihat ketiga saudara laki-lakinya berjalan di tepi sungai, membawa kantung goni bersama anjing peliharaan mereka, Sengkuni — seekor German Shepherd yang kehilangan satu matanya.

Saudara yang paling tua, dengan senyuman masih sengak, membuka kantung goni dan melepaskan isinya ke dalam sungai dengan sikap cuek, membiarkannya hanyut bersama arus deras. Mengalirlah, bersama air bening, bangkai induk kucing dan kedua anaknya yang terbujur kaku dengan mata masih terbuka, seakan menahan penderitaan mereka. Kucing-kucing abu-abu ke biru-biruan itu menambah warna pada sungai, yang akan membawa mereka ke suatu tempat entah di mana — tempat yang pasti lebih baik dari dunia ini dan jelas lebih baik dari loteng kayu berdebu itu.

Air terus mengalir hingga kucing-kucing itu menghilang dari pandangan. Nisrina membuang pandangan dan melanjutkan rutinitas membasuh dan menanggalkan pakaian. Membasuh. Menanggalkan. Begitu saja terus, namun kini lebih lambat, karena tangan kirinya digunakan untuk mengusap air mata yang jatuh ke rumput, menghujani semut-semut yang berkelana gelisah. Langit pagi tampak jingga dengan semburat kemerahan, meski masih ada rintik hujan yang turun dari langit, pikir semut itu.

Pagi yang seharusnya hangat bagi gadis belia itu tidak menjadi lebih baik di meja makan, tempat seluruh keluarga berkumpul untuk sarapan nasi dan telur. Nisrina selalu duduk terpisah, tak pernah sekali pun duduk di meja makan, dan tidak ada yang menawarinya untuk berganti. Seperti biasa, sebelum mendapatkan jatah makan, ia harus mengiris buah apel dengan pisau dapur untuk ayah dan saudara-saudaranya — si pencari nafkah dan calon pencari nafkah yang membutuhkan lebih banyak energi dan perhatian. Ibu sendiri juga tidak pernah duduk di meja makan, karena ia selalu berada di dapur, meski seringkali tidak melakukan apa-apa.

Di tengah meja, duduk sang ayah. Rambutnya tipis, tubuhnya kurus dan tinggi, kulitnya mengeriput seperti kulit lemon. Ia mengenakan kemeja putih dan celana hitam yang kebesaran, kumisnya tebal, dan wajahnya yang tirus menahan sepasang mata merah. Ia menyeruput kopi hitam sambil memandang setiap anak laki-lakinya dengan tatapan tajam. Seandainya pandangan mata dapat mengiris tubuh manusia dengan potongan yang paling rapi, mungkin sekeluarga sudah lama mati berdarah-darah. Anak-anak laki-laki itu tahu bahwa saat-saat paling mengerikan bukanlah ketika sang ayah menampar dan mencaci mereka dengan kata-kata kasar, tetapi ketika suasana menjadi hening, tidak ada angin yang berhembus, tidak ada suara jendela berderit, dan sang ayah hanya menyeruput kopi dengan sepasang mata merah yang tajam.

Sang ayah meletakkan gelas kopi dengan pelan. Ia berdiri dan berjalan dengan langkah tenang, mengelus rambut anak laki-lakinya satu per satu. “Anak-anakku, belajarlah dengan giat. Aku sudah lelah bekerja sebagai budak di kantor untuk menyekolahkan kalian di universitas ternama setelah kalian lulus. Suatu saat, aku akan menagih semua pengorbanan ini. Ingat, itulah tujuan anak laki-laki seperti kalian, bukan?”

“Iya, ayah.” Ketiga anak itu menjawab dengan tempo suara yang seragam.

“Surya, kamu akan kuusahakan masuk ke sekolah militer.”

“Dengan senang hati.”

“Raden, kau akan kuusahakan masuk ke dalam sekolah kedokteran.”

“Akan kupastikan, aku lulus tepat waktu.”

“Martin, kau akan masuk ke dalam sekolah hukum. Sudah pasti. Aku kenal dengan rektor di sana.”

“Baik yah, tetapi, apakah masih mungkin aku dapat masuk ke dalam sekolah sekolah teknik, barangkali teknik elektro?” Tanya saudara yang paling muda. Lantas sang ayah mengcengkeram pundaknya. Bermain-main dengan telinganya. Lalu tanpa berpikir dua kali, atau bahkan tanpa berpikir sekali pun menampar anaknya hingga tersungkur.

“Dengar, anak-anak biadab, kalian tidak berhak untuk memilih, aku lah yang membayar. Kalian sesederhana hanya akan melakukannya saja, paham?” Suara ayah lalu meredam, tertutup oleh suara anak kucing yang nyaring dari arah loteng.

“Sengkuni, buang anak kucing itu.” Sang ayah memanggil anjing yang segera naik ke atas loteng dengan cepat. Nisrina tampak khawatir dan segera menyusul akan tetapi sang ibu memanggil. “Nisrina, mau ke mana kau? Semir sepatu ayah!”

Nisrina menahan beban kehidupan yang begitu terpuruk. Ia sangat ingin masuk ke sekolah seni, tetapi bahkan sebelum ia mengutarakan keinginannya kepada ayahnya, ia sudah tahu apa jawabannya: “Sekolah bagi anak perempuan adalah di rumah bersama ibunya.” Maka, Nisrina hanya terdiam, menatap ibunya yang membungkuk di depan wastafel, mencuci beras dan menyaring air keruh berulang-ulang. Sambil menyemir, ia menanyangkan lagu acapella. Dengan hati yang penuh keraguan, tetapi mulut yang nekat, Nisrina memberanikan diri bertanya kepada ayahnya.

“Apakah sekiranya suaraku ini dapat mengantarkanku ke dalam dunia seni, ayah?”

“Ya, jika akhirnya kau ingin menjadi pelacur, tidak usah banyak tingkah kalau kau anak perempuan. Jangan menambah pikiran ayah,” hardik sang ayah, bahkan tanpa menatap Nisrina. Ibu mencium tangan sang ayah lalu mengantarnya menuju pagar. Tidak ada kata-kata di antara mereka, seakan mereka tidak saling mengenal — seakan bukan pasangan yang sudah menikah selama tujuh belas tahun. Namun ekspresi sang ayah seketika berubah saat ia bertemu dengan Pak Umar, tetangga sebelah yang juga kepala sekolah untuk anak-anak laki-laki.

Sang ayah langsung membusungkan dada dan berlagak besar. “Tolong didiklah anak-anak ini agar menjadi pemenang,” ujarnya. Pak Umar bersalaman dan menjawab, “Oh, pastilah, kau tahu sekolah ini tiada tanding.” Ibu memberikan senyuman singkat kepada Pak Umar, sebelum kembali dengan ekspresi wajah yang datar dan tebal.

Di dalam rumah, suasananya sunyi sekali, tanpa ada angin yang berhembus. Namun, Nisrina tiba-tiba menyadari suara anak kucing yang mengeong dari atas loteng. Ketika ia hendak membuka pintu loteng, Nisrina melihat anjing peliharaan mereka bermain kasar dengan anak kucing yang tertinggal, melempar-lemparkannya dengan tidak peduli.

Nisrina mengusir anjing itu yang kerap menjulurkan lidahnya seolah mencemooh. Ia kemudian memberinya seteguk susu putih. Anak kucing yang tertinggal di loteng mulai membuka matanya yang basah perlahan-lahan, menatap Nisrina yang mengenggamnya dengan kedua tangan. Mata mereka bertemu, mencerminkan kepedihan yang sama beningnya. Andai saja anak kucing itu bisa memeluk Nisrina dengan tangan dan tubuhnya yang kecil di balik bulu kelabu yang selembut sutra, pastilah ia akan melakukannya dengan sepenuh hati.

*

Langit malam menjaga semua orang dengan menyiulkan angin dingin yang kejam dalam kesunyian. Ketiga anak laki-laki kembali ke loteng, kali ini dengan rokok bermerek asing yang beraroma pelik. “Aku mendapat ini dari Ahmad di sekolah, dan dia dapat dari saudara laki-lakinya yang bekerja di klub-klub malam pusat kota. Jangan dianggap kampungan! Ini rokok langka. Hehehe. Katanya bisa menjauhkanmu dari masalah.” Semalaman, mereka berbicara dengan bahasa yang melantur, merebahkan diri di lantai kayu loteng yang berdebu. Mereka menatap bintang-bintang yang bersinar dengan sinar peraknya, semakin indah dalam langit yang redup. Pemandangan itu sungguh menakjubkan, sayang sekali hanya bisa dinikmati melalui celah-celah loteng.

Nisrina menutup mulutnya dengan kain dan membuka jendelanya lebar-lebar, kembali menatap teman satu-satunya, sang rembulan yang mengapung di angkasa. Ia menahan perasaan yang membingungkan. Nisrina tahu, meskipun ketiga kakak laki-lakinya mungkin belum tentu mencapai cita-cita ayah mereka — tentara, dokter, atau pengacara — mereka pasti akan tumbuh menjadi laki-laki seperti ayah mereka.

Di loteng, suara anak kucing yang tertinggal itu menarik perhatian para ketiga anak laki-laki. Mengeong, tetapi sebetulnya seperti sedang belajar menggeram.

“Hei … lihat …masih ada anak kucing satu lagi ….” Sahut saudara paling muda.

“Oh, ya, sangat lucu … seperti boneka, bukan?” Balas saudara tengah yang kedengarannya seperti baru belajar bicara.

“Sialan … tertinggal … ah, biarlah, akan kubunuh lain kali ….” Saudara yang paling tua itu berbicara sembari mengusap matanya yang merah.

“Kakakku, biarkan saja anak kucing itu sendiri. Janganlah kau hardik hanya karena ia lebih lemah darimu.”

“Memangnya kenapa, hah?! Siapa kau yang kiranya bisa mengguruiku?! Kalian harusnya menjaga punggungku dan mendukung mulutku, itulah gunanya adik …”

“Kalau kau terus begini, kelak nanti kau — ah tidak.”

“Nanti aku apa…” Balas sang saudara paling tua yang berusaha untuk menggerakkan tangan kanannya, berniat untuk menjotos mulut adiknya, tetapi ia malah menjotos udara.

“Nanti kau tumbuh dewasa … seperti ayah.”

“Tolol. Aku tidak akan pernah tumbuh seperti ayah. Tidak …akan …”

*

Nisrina merangkak menyelinap ke dapur untuk mencuri apel, bergerak hati-hati saat melewati kamar orang tuanya. Pintunya sedikit terbuka, dan cahaya kuning menjulur keluar sebagai segitiga. Nisrina melihat ayah dan ibunya berdekatan seperti magnet. Sang ibu sering menciumi leher ayah, namun sang ayah tampak acuh. “Ayolah, sudah lama kita tidak melakukannya, dan malam ini sungguh dingin.” Jemari ibu mulai memijat tubuh ayah. “Kau tahu perjanjian kita — hanya untuk membuat anak. Tidak lebih.” Ibu mulai membuka bajunya, “tak ada salahnya, kan?” Tiba-tiba sang ayah menampar ibu tanpa alasan. Ia mengambil jaketnya dan melempar botol alkohol ke arah ibu. “Perjanjian tetap perjanjian. Kau harusnya tahu diri. Aku menikah denganmu hanya demi keturunan dan prestise, betina sial.” Ayah lalu pergi keluar. Nisrina mengumpat di balik pintu. Ibu mengusap air mata di bawah temaram kuning lampu kamar yang berkedip, membentuk pulau-pulau di halaman bantal.

Di dapur, tatkala menggenggam apel, Nisrina mendengar ayahnya bersahutan dengan seseorang dalam telepon, akan tetapi baru kali itulah ia melihat ayahnya rapuh.

“Hei, ya, Umar, bisa aku ke rumahmu sekarang? Aku benar-benar butuh kehangatan darimu.”

“Tentu, akan kuhangatkan kasur. Kutunggu, sayang.”

*

Nisrina melangkah ke kamar orangtuanya, di mana sang ibu masih menangis, tetapi mencoba bersikap tegar begitu melihat Nisrina datang. Nisrina duduk di samping ibunya. Mereka duduk dalam satu garis, berjarak, tanpa saling memandang. Keheningan menyelimuti mereka, seakan-akan kata-kata tidak akan mampu menyampaikan segala rasa yang terpendam.

“Bu, aku ingin bertanya, mengapa perempuan seperti kita selalu mengalah. Mengapa ibu selalu mengalah kepada ayah meski ibu tahu perbuatannya tidak benar dan begitu biadab?”

“Karena kita itu adalah pelayan. Ayah mencari nafkah untuk menghidupi kita, dan aku membutuhkan dia. Selama aku butuh dia, aku menurut saja. Beginilah nasib kita.”

“Meski begitu biadab dan keji ayah memperlakukan ibu, begitu kejam para saudara laki-laki menghardikku.”

“Ya, tetapi kau nanti akan berterimakasih kepada mereka di masa depan atas kehidupan yang kelak sejahtera.”

“Itu omong kosong! Mereka bahkan tidak menganggap kita manusia. Apakah ibu tahu … aku baru saja melihat ayah pergi ke rumah Pak Umar untuk bercinta. Apakah ibu masih menganggap dia akan memberikan kehidupan yang sejahtera kedepannya?”

“Ya. Aku tahu, dan aku tidak akan marah. Karena aku masih sangat membutuhkan dirinya.”

“Bukankah ibu sedang sedih karena ayah sekarang?”

“Ya, dan aku malu untuk mengakuinya. Perasaan semacam cinta ini hanya menyusahkan.”

Nisrina menghapus air mata dan kembali ke kamarnya, menyelimutkan diri dengan rapat. Ia menutup matanya, mencoba melarikan diri ke dalam bayangan yang jauh dari kenyataan yang menyakitkan. Meski suara geram dari loteng telah menghilang, kenangan-kenangan itu tetap membayangi pikirannya dengan jelas.

Sambil menatap rembulan yang bersinar lembut di luar jendela, Nisrina mengiris apel dengan gerakan yang otomatis. Dalam pikirannya, berlarian gambaran-gambaran suram: ibunya yang menangis di bantal, saudara-saudara laki-lakinya yang tenggelam dalam asap rokok, dan ayahnya yang berpelukan dengan Pak Umar. Di kamar kecil itu, Nisrina merasa tenggelam dalam kesedihan dan tidak mampu lagi melawan pikiran-pikiran yang menghantui dirinya.

Malam itu, udara dingin terasa semakin kejam, menyelimuti segala yang ada dengan ketidakpedulian yang menyakitkan. Sang ibu tertidur dengan bantal yang lembab, menutup kesedihan yang tak tertuang. Para anak laki-laki tertidur di loteng, tenggelam dalam mimpi yang tak terjangkau oleh realita pahit. Sang ayah pulang dengan penampilan yang kacau, rambut berantakan dan kancing-kancing baju yang terbuka, menandakan malam yang panjang dan kacau.

Sementara itu, Nisrina masih menatap rembulan dari balik jendela, merasakan cahaya peraknya sebagai satu-satunya jalan keluar dari segala kegelapan. Kilauan rembulan memantul pada pisau dapur yang tergeletak, mengingatkan akan tindakan yang kini terbayang di pikirannya: mengiris leher-leher keluarganya dengan silatan perak yang dingin.

Andai saja Nisrina masih dalam keadaan waras, ia tahu bahwa pikiran-pikiran ini adalah sesuatu yang tidak akan pernah ia lakukan. Namun malam ini, dalam kegelapan dan kesedihan yang mendalam, tidak ada lagi andai-andaian. Hanya ada kenyataan pahit yang terbelenggu dalam kesepian dan kegilaan malam yang malang — yang bisa menyudutkan seseorang, entah setajam pisau malam.

Nisrina keluar dari kamarnya. Merangkak. Nafasnya tergopoh-gopoh. Rumah yang gelap. Maka tercerminkan secara jelas sinar perak rembulan pada pisau dapur yang berada di tangan kiri Nisrina. Merangkak. Merangkak. Perlahan ia membuka kenop pintu. Cerminan rembulan masih tayang berkelip pada pisau dapur tajam itu.

Darah-darah yang anyir

Mengalir ke luar meninggalkan kerangka

Merah meresap ke dalam tanah, tempat manusia lahir

Meninggalkan sukma yang mengembara dalam duka

Pagi yang kelabu menggantikan malam gelisah dengan duka mendalam. Nisrina melangkah sendirian di sekitar sungai, membawa lima karung goni. Arus sungai yang deras dan dingin kini terlukis dalam kilauan merah, akibat isi karung-karung itu yang membaur dengan air. Setelah mengosongkan karung-karung tersebut, Nisrina berlari meninggalkan rumah tanpa sekali pun menoleh ke belakang.

Anjing peliharaan, yang seolah-olah menuduh, menggonggong dengan penuh amarah. Di dalam rumah, anak kucing yang tertinggal mengeong dengan penuh putus asa, memanggil Nisrina dengan suara yang semakin melemah. Dalam perjalanan Nisrina menuju pelarian, semua kenangan dan kesedihan seakan tertinggal di belakangnya, bersama dengan suara anak kucing yang terus memanggilnya dengan putus asa kecilnya.

*

Hari berganti, dan Nisrina yang kini sudah menjadi perempuan dewasa kembali ke rumah lama dengan rasa sentimental. Saat memasuki rumah, ia disambut dengan pemandangan meja makan yang dipenuhi debu dan sisa-sisa apel yang membusuk. Aroma busuk yang menyengat membuat Nisrina terkejut, dan ia segera menyadari bahwa bau tersebut berasal dari atas loteng.

Dengan hati-hati, Nisrina mengambil senter dan memanjat ke loteng, merangkak pelan dengan kaki kanan mendahului kaki kiri, sambil mengusap debu yang menempel. Begitu pintu loteng terbuka, betapa terkejutnya ia melihat pemandangan yang mengerikan. Di atas lantai loteng terdapat puluhan bangkai dan tengkorak musang, tikus, bahkan landak. Di antara tulang-belulang tersebut, Nisrina mengenali salah satunya sebagai bangkai anjing peliharaan mereka yang dulu.

Rasa kaget dan duka menyelimuti Nisrina saat ia berdiri di tengah-tengah sisa-sisa masa lalu yang terlupakan, mengenang kembali kejadian-kejadian kelam yang pernah terjadi di tempat itu.

Ketika Nisrina mengarahkan senter ke sudut loteng, sepasang mata berkilat muncul dalam gelap. Ia melihat seekor kucing dengan bulu kelabu lembut sedang melahap hidup-hidup seekor kucing lainnya. Adegan tersebut tampak tanpa suara, seolah keduanya berbicara dalam bahasa sunyi yang hanya mereka yang akrab dengan kesunyian yang bisa pahami.

Sinar matahari senja yang keemasan menyelinap melalui celah-celah dinding kayu yang sudah keropos, menciptakan kontras yang suram antara kehangatan hari dan kegelapan malam. Perlahan, darah menetes dari loteng ke kamar yang pernah dihuni Nisrina, menambah kesan mengerikan. Suara kucing yang mengeong dengan serak menambah kesunyian yang melingkupi rumah.

Pada malam itu, kepekatan langit menenggelamkan segalanya dalam sunyi yang mencekam, dan rumah itu, sekali lagi, menjadi saksi bisu dari malam yang penuh kemalangan.

Jakarta, 25 Maret, 2023

--

--